ASSALAMU'ALAIKUM DAN SALAM SEJAHTERA..........SELAMAT DATANG KE BLOG MASJID ANNUR..........SEMOGA AMALAN KITA PADA HARI INI LEBIH BAIK DARIPADA SEMALAM..........MARI BERSAMA-SAMA MENGIMARAHKAN MASJID KITA.

Tuesday, 3 December 2013

SIAPA YANG MEMBINA KAABAH

Kabah berkali-kali rosak sehingga harus berkali-kali dibongkar sebelum dibangun kembali. Di Museum Haramain, benda-benda itu disimpan. Ada kotak tempat menyimpan perfum yang dulu pernah mengisi ruangan Kabah. “Ruang Kabah isinya hanya tiga pilar dan kotak parfum itu,” ujar Abdul Rahman, menunjuk pilar-pilar dan kotak yang letaknya berjauhan.

Petugas Museum Haramain di Ummul Joud, Makkah, itu mengantar kami keliling melihat koleksi museum. Museum ini menyimpan benda-benda dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Ada potongan pilar Kabah yang bentuknya sudah seperti kayu fosil berwarna cokelat tua, disimpan bersama kunci pintu Kabah dari kayu, juga berwarna cokelat tua. Pintu Kabah selalu dikunci dan pemegang kunci sudah turun-temurun dari satu keluarga, sejak sebelum Nabi lahir.

Tangga kuno yang pernah dipakai untuk masuk Kabah juga tersimpan di museum ini. Tersimpan pula pelapis Hajar Aswad serta pelapis dan pelindung Maqam Ibrahim. Jika orangorang berebut mencium pelindung Maqam Ibrahim, seharusnya yang layak dicium adalah yang tersimpan di museum ini karena usianya lebih tua dari pelindung yang sekarang dipasang.

Namun, tak ada anjuran mencium Maqam Ibrahim. Nabi hanya memberi contoh mencium Hajar Aswad.

Kotak parfum Kabah yang disimpan di museum ini juga berwarna cokelat tua. Sewaktu masih difungsikan di dalam Kabah, botol-botol parfum yang dipakai untuk mengharumkan ruangan Ka’bah disimpan di kotak itu.

Riwayat Kabah 


Kabah  awalnya dibangun oleh Adam dan kemudian anak Adam, Syist, melanjutkannya. Saat terjadi banjir Nabi Nuh, Kabah ikut musnah dan Allah memerintahkan Nabi Ibrahim membangun kembali. Al-Hafiz Imaduddin Ibnu Katsir mencatat riwayat itu berasal dari ahli kitab (Bani Israil), bukan dari Nabi Muhammad.

Kabah yang dibangun Ibrahim pernah rusak pada masa kekuasaan Kabilah Amaliq. Kabah dibangun kembali sesuai rancangan yang dibuat Ibrahim tanpa ada penambahan ataupun pengurangan. Saat dikuasai Kabilah Jurhum, Kabah juga mengalami kerusakan dan dibangun kembali dengan meninggikan fondasi. Pintu dibuat berdaun dua dan dikunci.

Di masa Qusai bin Kilab, Hajar Aswad sempat hilang diambil oleh anak-anak Mudhar bin Nizar dan ditanam di sebuah bukit. Qusai adalah orang pertama dari bangsa Quraisy yang mengelola Ka’bah selepas Nabi Ibrahim. Di masa Qusai ini, tinggi Ka’bah ditambah menjadi 25 hasta dan diberi atap. Setelah Hajar Aswad ditemukan, kemudian disimpan oleh Qusai, hingga masa Ka’bah dikuasai oleh Quraisy pada masa Nabi Muhammad. Nabi Muhammad membantu memasangkan Hajar Aswad itu pada tempat semestinya.

Dari masa Nabi Ibrahim hingga ke bangsa Quraisy terhitung ada 2.645 tahun. Pada masa Quraisy, ada perempuan yang membakar kemenyan untuk mengharumkan Ka’bah. Kiswah Ka’bah pun terbakar karenanya sehingga juga merusak bangunan Ka’bah. Kemudian, terjadi pula banjir yang juga menambah kerusakan Ka’bah. Peristiwa kebakaran ini yang diduga membuat warna Hajar Aswad yang semula putih permukaannya menjadi hitam.

Untuk membangun kembali Kabah, bangsa Quraisy membeli kayu bekas kapal yang terdampar di pelabuhan Jeddah, kapal milik bangsa Rum. Kayu kapal itu kemudian digunakan untuk atap Kabah dan tiga pilar Kabah. Pilar Kabah dari kayu kapal ini tercatat dipakai hingga 65 H. Potongan pilarnya tersimpan juga di museum.

Empat puluh sembilan tahun sepeninggal Nabi (yang wafat pada 632 Masehi atau tahun 11 Hijriah), Ka’bah juga terbakar. Kejadiannya saat tentara dari Syam menyerbu Makkah pada 681 Masehi, yaitu di masa penguasa Abdullah bin Az-Zubair, cucu Abu Bakar, yang berarti juga keponakan Aisyah.

Kebakaran pada masa ini mengakibatkan Hajar Aswad yang berdiameter 30 cm itu terpecah jadi tiga. Untuk membangun kembali, seperti masa-masa sebelumnya, Kabah diruntuhkan terlebih dulu. Abdullah AzZubair membangun Ka’bah dengan dua pintu. Satu pintu dekat Hajar Aswad, satu pintu lagi dekat sudut Rukun Yamani, lurus dengan pintu dekat Hajar Aswad. Abdullah bin Az-Zubair memasang pecahan Hajar Aswad itu dengan diberi penahan perak. Yang terpasang sekarang adalah delapan pecahan kecil Hajar Aswad bercampur dengan bahan lilin, kasturi, dan ambar. Jumlah pecahan Hajar Aswad diperkirakan mencapai 50 butir.

Pada 693 Masehi, Hajjaj bin Yusuf Ath-Taqafi berkirim surat ke Khalifah Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima dari Bani Umayyah yang mulai menjadi khalifah pada 692 Masehi), memberitahukan bahwa Abdullah bin Az-Zubair membuat dua pintu untuk Ka’bah dan memasukkan Hijir Ismail ke dalam bangunan Ka’bah.

Hajjaj ingin mengembalikan Kabah seperti di masa Quraisy; satu pintu dan Hijir Ismail berada di luar bangunan Ka’bah. Maka, oleh Hajjaj, pintu kedua–yang berada di sebelah barat dekat Rukun Yamani–ditutup kembali dan Hijir Ismail dikembalikan seperti semula, yakni berada di luar bangunan Ka’bah.

Akan tetapi, Khalifah Abdul Malik belakangan menyesal setelah mengetahui Ka’bah di masa Abdullah bin AzZubair dibangun berdasarkan hadis riwayat Aisyah. Di masa berikutnya, Khalifah Harun Al-Rasyid hendak mengembalikan bangunan Ka’bah serupa dengan yang dibangun Abdullah bin Az-Zubair karena sesuai dengan keinginan Nabi. Namun, Imam Malik menasihatinya agar tidak menjadikan Ka’bah sebagai bangunan yang selalu diubah sesuai kehendak setiap pemimpin. Jika itu terjadi, menurut Imam Malik, akan hilang kehebatannya di hati kaum Mukmin.

Pada 1630 Masehi, Kabah rusak akibat diterjang banjir. Sultan Murad Khan IV membangun kembali, sesuai bangunan Hajjaj bin Yusuf hingga bertahan 400 tahun lamanya pada masa pemerintahan Sultan Abdul Abdul Aziz. Sultan inilah yang memulai proyek pertama pelebaran Masjidil Haram.

Replika mushaf di Museum ini tersimpan pula replika Quran mushaf Usmani yang bacaannya, susunan surah dan ayatnya, serta jumlah surah dan ayatnya dipakai sebagai panduan hingga sekarang. Yang berbeda cuma bentuk hurufnya.

Pada masa Khalifah Usman bin Affan (35 H) dibuatlah standardisasi penulisan Quran. Di masa itu, sahabat sahabat Nabi memiliki mushaf yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan surah dan ayat, maupun jumlah surah dan ayat.

Mushaf yang dimiliki Ibnu Mas’ud, misalnya, tidak menyertakan Surat AlFatihah dan susunan surat yang berbeda. Surah keenam bukanlah Surah Al-An’am, melainkan Surah Yunus. Quran Ali bin Abi Thalib juga tak memiliki Surah Al-Fatihah. Ali juga tak memasukkan surah ke-13, 34, 66, dan 96 ke mushafnya. “Ukuran mushaf Usman yang asli berbeda dari yang ini. Ini hanya duplikat,” ujar Abdul Rahman.

Sumber

Wednesday, 16 October 2013

JABAL AL-RAHMAH

Di Padang Arafah, jemaah haji dari jauh disambut dengan dua mercu tanda penting. Satu ialah Masjid Nimira dan satu lagi, Jabal Al-Rahmah.  Jabal Al-Rahmah ialah sebuah bukit kecil dan di sinilah Rasulullah (SAW) menyampaikan khutbah terakhirnya yang sehingga ini menjadi panduan umat Islam, meliputi secara mendalam aspek ekonomi, sosial dan politik. 

Satu tiang kecil putih di puncak bukit itu menjadi tanda tempat Baginda berdiri lebih 14 abad lalu. Dan sehingga kini ia menjadi impian bagi setiap jemaah untuk tiba di Jabal Al-Rahmah dan berdoa di situ. 

Pada musim haji, pemandangannya tidak ada beza. Jemaah, termasuk yang tua dan wanita berpusu-pusu mendaki bukit berkenaan dan cuba untuk mendapatkan tempat yang terbaik untuk menunaikan solat, bedoa, bertasbih, bertahmid dan sebagainya. 

Di sinilah tempat Rasulullah menyampaikan khutbah terakhirnya kepada kita dan kerana itu ia begitu penting untuk kita berada di sini, sedekat yang mungkin. Dengan berada di sini melambangkan kasih kita kepada Baginda. Tidak ada perasaan yang lebih hebat selain mengikuti jejak Rasulullah. Berharap semua umat Islam juga dapat melaksanakan pesanan Baginda yang diucapkan dari sini. 

Ada juga menganggap Jabal Al-Rahmah sebagai tempat paling sesuai untuk berdoa mendapatkan jodoh atau mengikat kasih sayang. Satu daripada kisah lucu yang pernah berlaku ialah mengenai seorang suami yang ketika dalam perjalanan ke bukit itu meminta isterinya mengaminkan apa saja doa yang dibacanya di atas bukit itu. Antara doa yang dibaca si suami ialah mendapat jodoh apabila pulang ke tanah air dan ia diaminkan oleh si isteri. Apabila kembali ke tanah air memang betul lelaki itu dipertemukan jodohnya seorang lagi. 

Ramai ulama berulang kali mengingatkan jemaah supaya tidak mengaitkan tempat itu dengan ibadah haji. Bagaimanapun, bukit itu seolah-olah menjadi besi berani yang menarik jemaah, tidak kira dari mana asal mereka. Padang ini begitu besar dan seseorang boleh duduk di mana-mana. Tetapi di Jabal Al-Rahmah ini kita boleh memperoleh semangat yang begitu tinggi dan meningkatkan kasih sayang kita kepada Baginda. 

Pada musim haji, bukit itu sesak dengan jemaah yang berihram. Sinaran terik matahari tidak menghalang mereka untuk mendaki atau berdiri di atas bukit itu. Dari jauh Jabal Al-Rahmah itu kelihatan seperti sekeping kain pelbagai warna, kerana ratusan, malah ribuan payung pelbagai warna yang digunakan oleh jemaah untuk melindungi mereka daripada sinaran matahari. 

Di benua Arab, Jabal Al-Rahmah juga dikenali sebagai Jabal Al-Dua atau Bukit Untuk Berdoa. Batu hitam mengelilingi bukit berkenaan ialah kira-kira setinggi 300 meter. Tiang putih di atasnya pula setinggi tujuh meter. Dari situ, seseorang boleh melihat keluasan Arafah. Meskipun untuk berdiri di puncak bukit berkenaan tidak termasuk dalam ibadah haji, ramai percaya ia adalah amalan yang perlu dilakukan ketika berada di Arafah. Ia jelas satu kesilapan kerana berwukuf di Arafah ialah untuk menghabiskan masa beribadah, termasuk bertakbir dan bertahmid.

KESAN IBADAH KORBAN

Zulhijah adalah bulan berkat yang dipenuhi dengan peristiwa ibadah haji dan korban. Bagi umat Islam, Aidiladha sudah sinonim dengan amalan korban. Ibadah itu adalah sesuatu yang berbentuk sosial yang amat dituntut agama kepada yang mampu iaitu hukumnya sunat muakad, iaitu sunah yang digalakkan atau dituntut ke atas setiap individu Muslim yang merdeka, berakal, baligh dan berkemampuan melakukannya. Insya-Allah dengan niat berkorban kerana Allah dengan hati penuh ikhlas, kita akan mendapat ganjaran pahala dan hidup dilingkari keberkatan.

Firman Allah s.w.t dalam Surah Al-Kautsar ayat 2 yang bermaksud, “Maka kerjakanlah sembahyang kerana Tuhanmu semata-mata dan sembelihlah korban sebagai tanda bersyukur.”

Firman Allah itu menjelaskan kepada kita perihal ibadah korban yang memperingatkan kita nilai kesyukuran dan ketakwaan kepada Allah. Jadi, dapatlah kita katakan bahawa melaksanakan ibadah korban itu adalah manifestasi iman dan takwa seorang mukmin. Sekarang kita tinjau pula apa sabda Rasulullah s.a.w. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah bersabda yang bermaksud, “Aku diperintahkan dengan menyembelih korban itu dan ia adalah sunat ke atas kamu.” 

Ibadah korban bermaksud menyembelih haiwan yang tertentu jenisnya daripada ternakan yang dikategorikan sebagai Al-An’am iaitu seperti unta, lembu, kerbau, biri-biri dan kambing pada hari Nahar atau Hari Raya Haji (10 Zulhijah) dan pada hari-hari Tasyrik (11, 12 dan 13 Zulhijah) kerana bertaqarrub (iaitu mendekatkan diri) kepada Allah. 

Ibadah korban menjadi landasan terbaik ke arah penyediaan kekuatan diri untuk menghadapi cabaran. Ia lambang ketakwaan seseorang hamba kepada Allah, asalkan korban yang dilakukan itu berdetik daripada hati yang tulus ikhlas kerana-Nya sebagaimana maksud firman Allah dalam surah al Hajj ayat 37, bahawa yang dinilai dan diterima Allah hanya ibadah korban yang dilakukan dengan hati ikhlas berasaskan takwa.  

Ibadah korban mempunyai nilai ganjaran pahala besar yang dijanjikan Allah. Walaupun ia hanya sunat muakad hukumnya, tetapi bagi yang mampu jika tidak menunaikan ibadah korban itu hukumnya makruh.  

Nabi s.a.w berpesan melalui hadisnya, “Tidak ada amalan yang dilakukan anak Adam pada Aidiladha yang lebih disukai Allah melainkan menumpahkan darah (menyembelih binatang korban). Sesungguhnya binatang korban itu akan datang pada hari kiamat bersama tanduk, kuku dan bulunya dan Allah memberi pahala ibadah korban itu sebelum darah binatang korban itu jatuh ke bumi. Oleh itu, elokkanlah korban kamu.” (Hadis riwayat at Tirmidzi dan Ibnu Majah). Demikian fadilat ibadah korban daripada perspektif ganjaran pahala.  

Namun demikian, ibadah korban sebagaimana tujuan membuktikan ketakwaan seseorang hamba Allah juga akan dapat membentuk ekologi kehidupan komuniti umat Islam yang bersatu dan saling bantu membantu. Hal itu pasti dijana kukuh kerana seseorang yang melakukan ibadah korban itu akan membahagi-bahagikan daging korban kepada orang miskin yang memerlukan.  

Secara tidak langsung hikmah yang tersirat ini akan membuahkan sikap prihatin dalam sesebuah masyarakat. Sikap membantu dan peka kepada orang miskin sesama Islam sangat dituntut dalam agama.  

Dengan itu juga akan lahirlah masyarakat Islam yang aman dan harmoni. Tiada lagi unsur dengki, tetapi yang dibina adalah semangat ukhuwah berasaskan ketakwaan dan mengharapkan keredaan Allah. Ibadah korban akan membudayakan ahli masyarakat hidup dalam sikap pemedulian yang kental.  

Hubungan silaturahim itulah yang akan mengukuhkan perpaduan ummah selain dapat mengerjakan syiar Islam. Imam al Ghazali pernah mengatakan, “Silaturahim adalah amalan mulia nabi dan rasul, sehinggakan orang yang memutuskan silaturahim dianggap telah melakukan dosa besar. Jadi, ibadah korban itu adalah landasan terbaik dan berkesan untuk memupuk silaturahim dan membentuk umat Islam yang bersatu.”  

Keseluruhannya, amalan korban itu mengandungi falsafah tersirat yang sangat wajar diaplikasikan dalam segenap lapangan kehidupan. Jangan hanya kita melihat ia sebagai suatu ibadah, tetapi dalam kehidupan seharian kita lupa untuk membudayakan sikap berkorban untuk golongan memerlukan.  

Jika sikap sanggup berkorban itu sudah sebati dan berbudaya mantap dalam diri setiap umat Islam, tentu akan wujud ikatan ukhuwah yang mantap dan dapat hidup bersatu dalam suasana aman damai. Ini sekali gus dapat memperkasa jati diri ummah dengan penampilan perwatakan yang kondusif dan mulia.  

Nabi bersabda yang bermaksud, “Sesiapa yang menyenangkan orang susah, Allah akan menyenangkannya di dunia dan akhirat. Sesiapa yang menutup keburukan seorang Muslim, Allah akan menutup keburukannya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan menolong seorang hamba selagi ia berusaha untuk menolong saudaranya.” (Hadis riwayat Muslim)  

Demikian Islam mengajar umatnya hidup dalam suasana harmoni dan bersatu. Oleh itu, ibadah korban dalam Aidiladha adalah wadah terbaik untuk merealisasikan matlamat tersebut dan seterusnya dilanjutkan sebagai amalan hidup. Dengan sikap hidup bermuafakat, saling membantu antara satu sama lain, serta nilai kekitaan yang padu, pastinya seseorang mukmin itu dapat meluaskan wilayah kebaikan serta melebarkan jaringan kebajikan sebagai insan yang sentiasa mengharapkan keredaan Allah. Inilah pengertian tersirat daripada ibadah korban itu.  

Justeru, umat Islam sepatutnya meneruskan erti berkorban dalam kehidupan seharian dan tidak hanya semasa Aidiladha. Jika amalan tersebut diterapkan dan dijadikan satu budaya peribadi setiap insan, pasti kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan memancarkan senario yang amat kondusif dan dinamik.

Sumber

Tuesday, 15 October 2013

SALAM AIDILADHA

Kami mengucapkan selamat Hari Raya Aidiladha kepada ahli kariah Majsid Annur dan kepada semua muslimin dan muslimat.

Hari raya Islam disambut dengan takbir dan puji-pujian kepada Allah SWT.

Rasulullah S.A.W. bersabda: 
“Hiasilah hari raya kamu dengan takbir, tahlil, tahmid dan taqdis”. (Hadis riwayat at Tabrani)
 
Oleh itu, jika hari raya tidak dihiasi dengan takbir, memuji dan membesarkan Allah, maka ertinya bukanlah kita menyambut hari raya sebagaimana yang disyariatkan oleh Islam.



Saturday, 14 September 2013

CARA PALING MUDAH CUCI DOSA ADALAH BERISTIGHFAR

Melakukan dosa adalah perbuatan yang dibenci Allah SWT, dan Islam mewajibkan setiap orang yang berbuat dosa segera bertaubat sama ada dia melakukan dosa besar atau kecil.
Oleh itu, dalam usaha membersihkan diri daripada kotoran dosa, al-Quran dan sunnah menjelaskan beberapa langkah perlu dilakukan termasuk menyucikan diri daripada dosa besar.


Antara langkah berkenaan ialah menghindari maksiat, berkawan dengan orang baik, melawan pujukan syaitan dan hawa nafsu, sentiasa menyesali dosa lalu, melakukan amal soleh, berdoa, sentiasa muhasabah diri dan paling mudah, memperbanyakkan istighfar.

Istighfar adalah menundukkan jiwa, hati dan fikiran kepada Allah SWT untuk memohon ampun atas segala dosa. Ini sebagaimana firman Allah menerusi surah Al-Mukmin, ayat 55, bahawasanya: “Dan pohonlah ampun bagi dosamu serta bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu pada waktu pagi dan petang.” Allah SWT juga menganjurkan kepada hamba-Nya supaya sentiasa beristighfar bukan saja untuk diri sendiri, malah untuk lelaki dan perempuan beriman, sebagaimana dimaksudkan- Nya dalam surah Muhammad, ayat 19, yang bermaksud: “Dan mintalah ampun kepada-Nya bagi salah silap yang engkau lakukan dan bagi dosa orang-orang yang beriman (lelaki dan perempuan).” Sesungguhnya istighfar sangat dituntut agama Islam, oleh itu menjadi kewajipan umat Islam untuk sentiasa beristighfar sebagai tuntutan yang perlu dipenuhi di samping merebut fadilat dalam ibadat ini.

Antara kelebihan istighfar ialah dibukakan Allah pintu keampunan kepada hamba- Nya, diberi kesenangan jiwa, serta dipelihara daripada gangguan dan kejahatan.

Sememangnya istighfar penting dalam kehidupan, oleh itu tidak sewajarnya ia diabaikan, apatah lagi dilupakan. Rasulullah SAW sendiri menjadikan istighfar sebagai amalan harian walaupun diketahui baginda adalah insan yang ‘maksum’ (bebas daripada dosa).

Baginda tetap beristighfar setiap hari sebanyak 100 kali supaya dipelihara daripada melakukan perkara yang menyebabkan dosa, betapa pula kita yang hanya sekadar manusia biasa.

Oleh itu, marilah kita menjadikan istighfar sebagai doa dan zikir sepanjang hari supaya tidak terleka dengan kehidupan dunia, selain satu cara memohon pelindungan Allah.

Ini sebagaimana maksud surah Nuh, ayat 10-12, bahawasanya Allah SWT berfirman: “Pohonlah ampun daripada Tuhan kamu, sesungguhnya adalah Dia amat pengampun, sekiranya kamu berbuat demikian, Dia akan menghantarkan hujan lebat mencurah-curah kepada kamu.

“Dan Dia akan melimpahkan kepada kamu dengan banyaknya harta kekayaan serta keturunan (anak) dan Dia akan mengadakan (menyuburkan) bagi kamu kebun-kebun tanaman serta mengadakan bagi kamu sungai-sungai yang mengalir di dalamnya.” PEDOMAN SEBAGAIMANA kita sedia maklum, kehidupan di dunia adalah persediaan dan jalan bagi kehidupan kita di akhirat. Namun dalam menempuh kehidupan di dunia, kita tidak terlepas daripada menghadapi dugaan, cabaran dan ujian serta melakukan kesalahan dan dosa.

Melakukan dosa adalah perbuatan yang dibenci Allah SWT dan Islam mewajibkan setiap orang yang berbuat dosa segera bertaubat sama ada ia melakukan dosa besar atau kecil.

Oleh itu, dalam membantu membersihkan diri daripada kotoran dosa, al-Quran dan sunnah menjelaskan, beberapa langkah perlu dilakukan, termasuk bagi menyucikan diri daripada dosa besar.

Antara langkah ini adalah menjauhkan diri daripada maksiat, berkawan dengan orang yang baik, melawan pujukan syaitan dan hawa nafsu, sentiasa menyesal terhadap dosa lalu, melakukan amal soleh, berdoa, sentiasa muhasabah diri dan paling mudah sekali, memperbanyakkan istighfar.

Istighfar adalah menundukkan jiwa, hati dan fikiran kepada Allah SWT untuk memohon ampun atas segala dosa. Ini sebagaimana firman Allah menerusi surah Al-Mukmin, ayat 55, bahawasanya: “Dan pohonlah ampun bagi dosamu serta bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu pada waktu pagi dan petang.” Allah SWT juga menganjurkan kepada hamba-Nya supaya sentiasa beristighfar bukan saja untuk diri sendiri, malah untuk orang beriman lelaki dan perempuan, sebagaimana dimaksudkan-Nya dalam surah Muhammad, ayat 19, yang bermaksud: “Dan mintalah ampun kepada-Nya bagi salah silap yang engkau lakukan dan bagi dosa orang-orang yang beriman (lelaki dan perempuan).” Sesungguhnya istighfar sangat dituntut oleh agama Islam, oleh itu menjadi kewajipan bagi umat Islam untuk sentiasa beristighfar sebagai tuntutan yang perlu dipenuhi di samping merebut fadilat dalam ibadat ini.

Antara kelebihan istighfar adalah, dibukakan Allah pintu keampunan kepada hamba-Nya, diberikan kesenangan jiwa, serta dipelihara daripada gangguan dan kejahatan.

Sememangnya istighfar penting dalam kehidupan, oleh itu tidak sewajarnya ia diabaikan, apatah lagi dilupakan.

Rasulullah SAW sendiri menjadikan istighfar sebagai amalan harian walaupun diketahui baginda adalah insan yang ‘maksum’ (bebas daripada dosa).

Baginda tetap beristighfar setiap hari sebanyak 100 kali supaya dipelihara daripada melakukan perkara yang menyebabkan dosa, betapa pula kita yang hanya sekadar manusia biasa.

Oleh itu marilah kita menjadikan istighfar sebagai doa dan zikir sepanjang hari supaya tidak terleka dengan kehidupan dunia,, selain satu cara memohon perlindungan Allah.

Ini sebagaimana maksud surah Nuh, ayat 10-12, bahawasanya Allah SWT berfirman: “Pohonlah ampun kepada Tuhan kamu, sesungguhnya adalah Dia amat pengampun, kiranya kamu berbuat demikian, Dia akan menghantarkan hujan lebat mencurah-curah kepada kamu.

“Dan Dia akan melimpahkan kepada kamu dengan banyaknya harta kekayaan serta keturunan (anak) dan Dia akan mengadakan (menyuburkan) bagi kamu kebun-kebun tanaman serta mengadakan bagi kamu sungai-sungai yang mengalir di dalamnya.”

Wednesday, 11 September 2013

KISAH PEMUDA ASHABUL KAHFI: KEAGUNGAN ALLAH, KEHEBATAN ALI DAN KECERDASAN TAMLIKHA

Dalam surat Al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi Musa as dan nabi Khaidir as serta kisah Dzulqarnain. Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya.

Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.

Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-’Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).

Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya. Penulis kitab Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi:
“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” (QS al-Kahfi:10)

Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:

Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: “Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.”

“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.

“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya.

 “Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”

Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!”

Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”

Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”

Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”

Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”

Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”

Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: “Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”

Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”

“Ya baik!” jawab mereka.

“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.

Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”

“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!”

Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”

Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”

Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: “Orang itu benar juga!” Mereka bertanya lebih lanjut: “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”

“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!”

Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”

Ali bin Abi Thalib menjawab: “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: “Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!”

Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”

Ali bin Abi Thalib menjawab: “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”

Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”

Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda.”

“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam Ali.

“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.


Ali bin Ali Thalib menjawab: “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu.”

Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”

Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: “Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).

Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.”

Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”

Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi.

Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”

Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”

“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam.

Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.

Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”

Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”

Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.

Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni.

Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.

Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.

Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.

Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala.

Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha– memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.”

Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”

“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.”

Teman-temannya mengejar: “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”

“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha menjelaskan.”

Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: ‘siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah?

Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu?

Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?

Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”

Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: “Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!”

“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!”

“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.

Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.

Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: “Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar.”

Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.

Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: “Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”

“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!”

“Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian.”

Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.”

Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”

“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.

Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.

Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: ”Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t.” Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi.

Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”

Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!”

Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!”

Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.

Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.

Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.

Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!”

Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.”


Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”

Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”

Tamlikha kemudian berkata: “Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!”

Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.”

Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: “Kusangka aku ini masih tidur!” Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?”

“Aphesus,” sahut penjual roti itu.

“Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti.

“Kalau yang kau katakan itu benar,” kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!”

Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.

Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!”

Imam Ali menerangkan: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!”

Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: “Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!”

“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal Tamlikha. “Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!”


Penjual roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?”

Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: “Bagaimana cerita tentang orang ini?”

“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang membawanya.

Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.”

Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!”

Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”

“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.

“Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja lagi.

“Ya, ada,” jawab Tamlikha.

“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah raja.

Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: “Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?”

“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertai aku!”

Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: “Inilah rumahku!”

Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: “Kalian ada perlu apa?”

Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!”

Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?”

“Aku Tamlikha anak Filistin!”

Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!”

Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.”

Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”

Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?”

Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.

“Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.

Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!”

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”

Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?”

“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.

“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!”

Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?”

“Lantas apa yang kalian inginkan?” Tamlikha balik bertanya.

“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.

Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”

Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua.


Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.

Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.”

Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.”

Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman:
“Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui bahawa janji Allah adalah benar, dan bahawa Saat itu tidak ada keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka berkata, “Binalah di atas mereka satu bangunan; Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka.” Berkata orang-orang yang menguasai atas urusan mereka, “Kami akan membina di atas mereka sebuah masjid.” 

Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?”

Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!”

Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha ‘ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.

Monday, 2 September 2013

WAKTU MUSTAJAB UNTUK BERDOA

Setiap amalan dalam Islam ada waktu-waktu tertentu yang lebih afdal untuk kita laksanakan. Begitu juga berdo’a kepada Allah s.w.t .  Ada waktu-waktu mustajab do’a yang perlu kita ketahui dan menggunakan waktu tersebut untuk bermunajad di sisi Allah s.w.t.  Menurut Ibn Atha’, do’a mempunyai beberapa rukun yang kuat menyebabkannya naik ke langit untuk diterima Allah s.w.t. Rukun yang paling utama ialah hadir hati dan memohon dengan tawadhuk. Sayap-sayap do’a itu ialah berdo’a dengan penuh keikhlasan dari hati dan bertepatan dengan waktu.

Marilah sama-sama kita berusaha untuk berdo’a diwaktu-waktu mustajab do’a. Semoga dengan ikhtiar kita yang sedikit ini Allah perkenankan do’a-do’a kita dan meletakkan diri kita bersama barisan hamba-hamba-Nya yang di redhai di dunia dan akhirat.

Waktu mustajab untuk do’a ialah:
  1. Berdoa sewaktu hujan turun.
  2. Ketika hendak bersolat.
  3. Selesai membaca al-Fatihah dalam solat. 
  4. Selepas mengucapkan ‘Amin’ apabila selesai membaca surah al-Fatihah.  
  5. Pada waktu tengah malam, terutama sepertiga malam yang terakhir. 
  6. Waktu di antara azan dan iqamah. 
  7. Ketika sujud dalam solat. 
  8. Selepas berselawat ke atas Nabi Muhammad s.a.w dalam tahiyat akhir.  
  9. Selesai solat fardu.  
  10. Sepanjang waktu berpuasa. 
  11. Ketika khatam 30 juz al-Qur’an. 
  12. Sepanjang hari Jumaat itu, dengan harapan bersua dengan waktu mustajab do’a. 
  13. Sepanjang perjalanan semasa bermusafir. 
  14. Pada hari ‘Arafah iaitu 9 Zulhijjah. 
  15. Ketika berjihad dan sewaktu melaksanakan ibadah haji atau umrah. 
  16. Ketika iman meningkat kerana berbuat taat. 
  17. Waktu menerima ujian.  
  18. Ketika berperang kerana Allah.
  19. Ketika menghadiri penyelenggaraan jenazah. 
  20. Selepas saat kematian seseorang. 
  21. Ketika ayam berkokok. 
  22. Lailatul Qadr (10 mlm terakhir bulan Ramadhan)
  23. Semasa solat fardu 
  24. Ketika minum air zam-zam
  25. Ketika terjaga dari tidur malam (tengah malam)
  26. Ketika berbuka puasa bulan Ramadhan
  27. Ketika majlis ilmu
  28. Ketika iktikaf di masjid
  29. Ketika sujud
  30. Doa pemimpin yang adil
  31. Ketika di bukit Safa dan Marwah
  32. Doa orang yang dizalimi
  33. Ketika berada di Masjidil Haram atau depan Kaabah
  34. Doa ibu bapa kepada anaknya
  35. Doa anak yang soleh kpd ibu bapanya 
  36. Doa di padang Arafah (khususnya ketika Wukuf Haji)